1. Hadits tentang 73 golongan Islam
Rasulullah bersabda,
"Ketahuilah,
sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah
belah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya agama ini (islam) akan
terpecah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di Neraka dan
satu golongan di dalam Surga, yaitu al-jama'ah". (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah1 ).
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Akan
berpecah umatku ini menjadi 73. Semuanya masuk neraka kecuali satu”.
Mereka (para sahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”.
Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya ( maa ana ‘alaihi wa ashhaabii ) ”. (H.R At-Tirmidzi no. 2641)
Makna
"Jama'ah" diatas bukan diperuntukkan pada kelompok tertentu, tetapi
pada semua orang, siapa saja yg berpegang teguh pada Al-Qur'an dan
sunnah Rasulullah.
lbnu Mubarak : Istilah Jama'ah adalah orang yg memiliki sifat-sifat teladan yg sempurna berdasarkan Alquran dan Sunnah Nabi.
Maka
siapapun orangnya, di belahan bumi manapun dia berada dan apapun warna
kulitnya semuanya bisa bernama dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
sepanjang dia komitmen dengan Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah sesuai
dengan pemahaman para shahabat walaupun dia hanya seorang diri tanpa
ada orang yang mengikutinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah
bin Mas’ud :
“Al-Jama’ah ialah setiap yang sesuai dengan kebenaran meskipun kamu seorang diri.” (Al-Madkhal , Imam Baihaqi2 ).
Dalam riwayat lain:
“Al-Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai ketaatannya kepada Allah walaupun engkau bersendirian.”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Al-Laalikai3 ).
Ibnul Qayyim menyatakan: Ketika
datang perintah untuk berpegang dengan Al-Jama’ah, maka yang
dimaksudkan dengannya adalah berpegang kepada al-haq (kebenaran) dan
mengikutinya. Sebab, orang yang berpegang dengannya sangat sedikit dan
yang menentangnya demikian banyaknya. Sesungguhnya yang dimaksud dengan
al-haq ialah apa-apa yang difahami oleh jama’ah pertama dari kalangan
para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Ighatsatul Lahfan I/80, tahqiq: Basyir Muhammad ‘Uyun).
Allah berfirman :
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS Ali Imron (3):104)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: Hendaklah
di antara kalian ada orang yang memposisikan dirinya dalam urusan yang
agung ini, menyeru kepada Allah, menyebarkan agama-Nya, dan
menyampaikan perintah-Nya."
Ayat
ini bukan berarti perintah untuk mendirikan kelompok, tetapi dalil
yang berlaku (kewajiban) bagi setiap individu muslim agar termasuk
dalam golongan yang selamat (firqotun najiyah), yaitu orang-orang yang berjalan diatas manhaj Nabi & para sahabatnya dengan cara amar ma'ruf nahi munkar.
2. Hadits Jibril tentang Islam itu 5 perkara.
Sebuah Hadits Jibril yang menjelaskan Islam, Iman dan Ihsan, diriwayatkan oleh 'Umar ra.
“Suatu
ketika kami sedang berada di sebuah majlis bersama Rasulullah. ketika
itu muncul seorang laki-laki yang sangat putih bajunya dan sangat hitam
rambutnya, tidak terlihat kepadanya bekas perjalanan yang jauh, dan
satupun dari kita tidak mengenalnya, kemudian dia duduk dihadapan Nabi
Saw, lalu orang itu menyenderkan lututnya kepada lutut Nabi Saw., dan
meletakan telapak tangannya di atas paha Nabi Saw., dan berkata: "Wahai
Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam".
Maka Rasulullah Saw. bersabda: "Islam
adalah kamu bersaksi bahwa tiada ada Tuhan selain Allah dan
sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, memberikan
zakat, puasa di bualan Ramadhan, dan haji ke baitullah jika kamu mampu
menjalankannya.". Orang itu berkata: "Kamu benar". 'Umar berkata: "Maka kami terkejut kepadanya, dia bertanya dan membenarkannya...dst...
Berkata
'Umar: "Kemudian orang laki-laki itu keluar maka aku timbul pertanyaan
dalam hatiku, kemudian Nabi bersabda kepadaku: "Wahai 'Umar apakah
kamu mengetahui siapa orang yang bertanya itu". Aku berkata: "Allah dan
Rasul lebih mengetahui". Rasul berkata: "Sesungguhnya dia adalah
Jibril, dia datang untuk memberi pengetahuan tentang agama kalian" (HR. Muslim).
Sesuai dengan yang disampaikan Rasulullah, seseorang
cukup dikatakan sebagai Muslim jika dia bersaksi bahwa tiada ada Tuhan
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, SHALAT,
ZAKAT, PUASA, dan HAJI jika mampu.
Tidak
ada syarat dalam menetapi Islam harus dengan bentuk jamaah / khalifah.
Karena selama dia mengerjakan 5 perkara diatas maka di adalah orang
Islam.
Seandainya sah atau
tidaknya keislaman seseorang itu tergantung dari bentuknya (berkelompok
jamaah atau tidak), niscaya Rasulullah tidak melewatkan hal penting
itu dalam jawabannya pada Jibril.
Datang
seorang A’rob kepada Nabi shallallahu’alaihi wasalam dan berkata:
“Ajarkan kepadaku suatu amal yang apabila ku amalkan maka aku masuk
surga karenanya”.
Nabi menjawab, “Sembahlah
Allah, jangan dipersekutukan dengan-Nya sesuatu. Dirikanlah shalat
wajib, bayarlah zakat fardhu dan puasalah dibulan Ramadhan”.
Kemudian orang A’rob itu berkata,
“Demi Allah, yang diriku ditangan-Nya, tidak akan ku tambah ini selamanya, dan tidak akan kukurangi”.
Ketika
orang itu telah pergi Nabi shallallahu’alaihi wasalam bersabda, “Siapa
yang ingin melihat penghuni surga lihatlah orang itu”. (HR. Muslim).
Inilah
definisi Islam yang sesuai dalil, andaikata tidak ditambah dan tidak
dikurangi maka telah cukup untuk memasukan seseorang itu ke surga.
3. Hadits tentang Hudayfah bin Yaman.
Hudzaifah bin Yaman berkata :
Aku
bertanya : “Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam keadaan
jahiliyah dan kejelekan lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam) ini,
apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan?”
Beliau berkata : “Ya”
Aku bertanya : “Dan apakah setelah kejelekan ini akan datang kebaikan?”
Beliau menjawab : “Ya, tetapi didalamnya ada asap”.
Aku bertanya : “Apa asapnya itu?”
Beliau
menjawab : “Suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku, dan
menunjukkan (manusia) kepada selain petunjukku. Engkau akan mengenal
mereka dan engkau akan memungkirinya”
Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi?”
Beliau
menjawab :”Ya, (akan muncul) para dai-dai yang menyeru ke neraka
jahannam. Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka merekapun akan
menjerumuskan ke dalam neraka”
Aku bertanya : “Ya Rasulullah, sebutkan cirri-ciri mereka kepada kami ?”
Beliau menjawab : “Mereka dari kulit-kulit/golongan kita, dan berbicara dengan bahasa kita”
Aku bertanya : “Apa yang anda perintahkan kepadaku jika aku temui keadaan seperti ini”
Beliau menjawab : “Pegang erat-erat jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”
Aku bertanya : “Bagaimana jika tidak imam dan jama’ah kaum muslimin?”
Beliau menjawab :”Tinggalkan semua kelompok-kelompok sempalan itu, walaupun kau menggigit akar pohon hingga ajal mendatangimu”.
(HR Bukhari. Muslim, Ibnu Majah4 )
Beberapa hikmah hadits ini antara lain:
Bentuk kelompok/golongan jamaah adalah bukan syarat untuk keislaman seseorang.
Jikalau
sah/tidaknya amal sesorang itu tergantung dari bentuk kelompok jamaah,
niscaya Nabi akan berpesan pada Hudzayfah untuk mendirikan kelompok
jamaah ketika dia tidak menjumpai imam dan 'Jamma'atul muslimin' (Jama’ah seluruh kaum muslimin).
Rasulullah tidak mengatakan ‘Jama’ah minal muslimin' (Jama’ah sebagian orang Islam).
Bagaimana
mungkin Nabi shallallahu’alahi wasalam dalam hadits diatas menyuruh
umatnya untuk ‘mati jahiliyah’ karena tidak membaiat salah satu kelompok
(Jama’ah minal muslimin) yang ada?.
Yang
terjadi adalah Nabi memerintahkan Hudzayfah untuk menjauhi para
manusia yang memecah belah agama dengan cara membentuk
kelompok-kelompok yang sesuai dengan pemahaman masing-masing.
Karena
seseorang dikatakan islam jika hanya masih mengerjakan 5 perkara yang
disebutkan Nabi Muhammad terhadap pertanyaan Jibril.
4. Hadits tentang 3 Orang Dalam Safar (perjalanan)
Menceritakan
kepada kami Ibn Lahi’ah, beliau berkata, menceritakan kepada kami
Abdullah ibn Hubairah dari Abi Salam al-Jaitsani dari Abdullah bin Amr
radhiyallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam
bersabda : “Tidak halal menikahi seorang perempuan dengan mencerai
perempuan yang lain, dan tidak halal bagi seorang laki-laki menjual atas
dagangan temannya sehingga temannya meninggalkan dagangan itu, dan
tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah padang tidak bertuan,
kecuali mereka mengangkat salah satunya jadi amir atas mereka, dan
tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu tempat, yang dua
berbisik-bisik meninggalkan temannya (yang satu diacuhkan)”.
(Musnad Ahmad (2/176) no. 6647).
Hadits
ini dha’if, Sebab ada perowi bernama Ibnu Lahi’ah yang didhoifkan oleh
Tirmidzi, Nawawi, Ad-Daruquthni, Baihaqi, Al-Albani 5.
Hadits yang lebih shahih, lafazh-nya:
“Bila keluar tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin”.
Hadits Ibnu Lah’iah menyelisihi hadits ini dalam hal :
Lafazh amar bukan lafazh laa yahillu.
Serta lafazh di waktu safar bukan ditanah yang tidak bertuan.
Lafazh hadits yang benar ini derajatnya hasan, dikeluarkan dari beberapa jalan, diantaranya adalah:
Abu Dawud, Abu Ya’la, Baihaqi, Abu Awanah, Thabrani 6.
Hikmah Hadits ini adalah :
- Dalam hal 3 orang yang mengadakan perjalanan-pun perlu adanya seorang pemimpin. Tapi dia diangkat dengan kesepakatan 2 orang lainnya, karena jika tidak ada kesepakatan dari semua orang yang berada disitu, manalah mungkin istilah 'pemimpin' itu bisa ada.
- Tidak diragukan lagi tentang perlunya seorang pemimpin yang bisa mengkoordinir dalam perkara yang melibatkan banyak orang. Tapi urgensi ini tidak menjadikan syarat sahnya keislaman seseorang. Karena jelas sekali apa itu Islam. Dan di lafazh hadits ini sama sekali tidak tersurat/tersirat/ menyinggung tentang syarat mutlak seorang amir (pemimpin) dalam KEISLAMAN seseorang.
5. Hadits tentang “Laa Islama illa bil Jamaah”
Mengabarkan
kepadaku Sofwan bin Rustum dari AbdurRahman bin Maysaroh dari Tamim
al-Dari, ia berkata; ‘Di zaman Umar kebanyakan orang berlomba-lomba
dalam meninggikan bangunan rumah. Berkata Umar; ‘Wahai golongan Arab!
Ingatlah tanah..tanah! Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa jama’ah dan
tidak ada jama’ah tanpa Imarah dan tidak ada Imarah tanpa ketaatan.
Barangsiapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya karena ilmunya maka
akan menjadi kehidupan bagi dirinya sendiri dan juga bagi mereka, dan
barangsiapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya tanpa memiliki ilmu,
maka akan menjadi kebinasaan bagi dirinya dan juga bagi mereka.”
(Ad-Darimi & Ibn Abdil Barr 7)
Atsar Umar ini dha’if, dengan dua sebab:
- Sofwan bin Rustum tidak diketahui kredibilitasnya. (al-Dzahabi, Ibnu Hajar).
- Inqitha’ (putus) antara Abdur-Rahman bin Maisarah dengan sahabat Tamim ad-Dari yang meriwayatkan ucapan sahabat Umar bin Khatthab ini.
Adapun lafazh tambahan : Wa la imarota ila bil bai’at wa la bai’ata ila bi tho’at adalah tambahan yang sama sekali tidak diketahui asalnya.
Dalam musnad Ahmad tidak dijumpai atsar Umar ini.
Jika penjelasan hadits ini adalah definisi tentang Islam, maka jelas sekali bertentangan dengan Hadits Jibril & Hadits orang a'rob yang lebih shohih di riwayat Muslim.
Di
kedua hadits riwayat Muslim tersebut jelas apa itu definisi Islam yang
dimaksudkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Seseorang
cukup dikatakan sebagai Muslim jika dia bersaksi bahwa tiada ada Tuhan
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, shalat,
zakat, puasa, dan haji jika mampu.
6. Hadits tentang “Mata miitatan Jahiliyah”
Dari
Ibnu Abbas radliallahu anhuma berkata, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Barangsiapa melihat sesuatu dari pemimpinnya yang
tidak disukainya, maka hendaklah bersabar kerana sesungguhnya jika seseorang keluar dari Al-Jama’ah walaupun sejengkal kemudian dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyyah.”
(H.R Bukhari & Muslim).
Syarah hadis:
Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/7 menjelaskan tentang makna “matinya dalam keadaan mati jahiliyah”
ialah: “Matinya seperti Ahli Jahiliyah, yaitu di atas kesesatan. Dan
dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenalnya. Dan bukan maksudnya dia mati kafir, tapi matinya sebagai orang yang berbuat maksiat.”
Mati jahiliyah disini bukan mati kafir, akan tetapi mati seperti matinya orang jahiliyah dahulu yang tidak punya imam.
Orang jahiliyah sebelum kedatangan Islam senang berpecah belah, tidak memiliki pemimpin yang dipatuhi :
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah (yaitu jama’ah), dan
janganlah kamu berfirqah-firqah, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara… (Ali-Imron 103).
Setelah
kedatangan Islam, mereka menjadi bersaudara. Maka ketika muncul
permusuhan dan perselisihan karena fanatisme kelompok, maka mereka
meniru keadaan dahulu yaitu masa jahiliyah.
Dikisahkan
oleh Jabir bin Abdullah, tatkala kaum Muhajirin dan Anshor berselisih,
masing-masing kubu saling berseru. Orang Anshor tersebut berkata:
“Wahai orang-orang Anshor,” Orang Muhajirin berkata: “Wahai orang-orang
Muhajirin”.
Nabi shallallahu’alaihi wasalam yang mendengar hal tersebut keluar seraya berkata: “Ada apa dengan seruan JAHILIYYAH ini?” (HR. Bukhori).
Panggilan ‘Muhajirin dan Anshor’ jika dijadikan panggilan biasa bukan seruan jahiliyah, bahkan Nabi sendiri sering memanggil dengan panggilan itu.
Tapi ketika panggilan ini dikehendaki oleh mereka dalam hal perpecahan, Nabi menyebut panggilan-panggilan itu sebagai seruan jahiliyah.
Tapi ketika panggilan ini dikehendaki oleh mereka dalam hal perpecahan, Nabi menyebut panggilan-panggilan itu sebagai seruan jahiliyah.
Jadi, hadits: siapa yang tidak bai’at atau tidak punya imam jika mati, matinya dalam keadaan mati jahiliyah, Maksudnya, ‘Mati seperti matinya orang jahiliyah dahulu yang tidak punya imam, bukan yang dimaksud mati dalam keadaan kafir”.
Syaikh Mashur Hasan Salman berkata 8,
“Dari
nash-nash yang ada, maksud yang benar dari jama’ah adalah jamaatul
muslimin yang bersatu membai’at seorang pemimpin muslim..
Menurut
kami, sebenarnya organisasi, gerakan dan jama’ah-jama’ah yang ada itu
adalah jama’ah dari kaum muslimin bukan jama’atul muslimin yang
mengumpulkan seluruh kaum muslimin yang ada.
Otomatis
yang tidak tergabung dengan gerakan Islam atau jama’ah tertentu bukan
berarti keluar dari jama’ah atau mati dalam keadaan jahiliyah”.
KESIMPULAN
- Seseorang dikatakan sebagai Muslim jika dia bersaksi bahwa tiada ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, SHALAT, ZAKAT, PUASA, dan HAJI jika mampu.
- Bentuk kelompok/golongan Jamaah adalah BUKAN SYARAT untuk keislaman seseorang.
Abu Bakar dibai’at pertama kali oleh Umar sedangkan Umar adalah
tokoh kaum muslimin waktu itu. Pembai’atan ini dilakukan dalam suatu
forum musyawaroh para sahabat, sehingga bai’at ini kemudian diikuti
oleh peserta musyawaroh yang lainnya dari kalangan Muhajirin dan
Anshor.
Jadi pada peristiwa pembai’atan Abu Bakar ini ada setidaknya dua syarat sahnya seorang imam:
- Dibai’at oleh seluruh tokoh-tokoh masyarakat.
- Atau berdasarkan ijma musyawarah seluruh kaum muslimin (perwakilannya)
Itulah makna perkataan Umar ibn Khattab :
“Barangsiapa membai’at seorang amir tanpa musyawarah dengan kaum muslimin terlebih dahulu, maka tidak ada bai’at baginya”. (H.R Bukhari no. 6329).
Dari hadits Hudzayfah:
Rasulullah bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama'atul Muslimin dan imamnya”.
Hadits itu secara jelas menyebutkan: Jama'atul Muslimin (jama’ah seluruh kaum muslimin) dan imamnya”, Rasulullah tidak mengatakan ‘Jama’ah minal muslimin (jama’ah sebagian orang Islam) dan imamnya”.
Jika
ada 100 orang hidup dalam suatu wilayah kemudian tiap orang itu
menyadari wajibnya beramir & berjamaah, maka tiap beberapa orang
dari mereka akan mengangkat seorang amir yang sesuai dengan pemahaman
masing-masing.
Katakan ada 15 orang yang mempunyai pemahaman yang sama, maka mereka akan mengangkat seorang amir diantara 15 orang itu, kita sebut golongan A.
Kemudian ada 20 orang lainnya yang tidak setuju dengan pemahaman golongan A karena dianggap tidak sesuai syareat, maka 20 orang ini mengangkat amirnya sendiri yang menurut mereka paling pas dengan perintah Allah & rasul.
Selanjutnya demikian dengan orang-orang lainnya, mereka mendirikan kelompoknya masing-masing. Inilah firqoh-firqoh itu.
Hudzaifah bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama'ah maupun imamnya?”.
Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon (‘ashlu syajarah’) hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu".
Perhatikan perkataan beliau “Hindarilah semua firqah itu”, sebagai penjelasan perkataan sebelumnya bahwa kelompok-kelompok ('Jama’ah minal muslimin') akan ada, tapi Rasulullah melarang kita bergabung dengan salah satu kelompok yang ada.
Bagaimana
mungkin Nabi shallallahu’alahi wasalam dalam hadits diatas menyuruh
umatnya untuk ‘mati jahiliyah’ karena tidak membaiat salah satu
kelompok ('Jama’ah minal muslimin') yang ada?
(continue to part 2... insyaAllah)
FOOTNOTE :
- Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127, Ad-Daarimiy 1/44, Ibnu Majah no. 43-44, Ibnu Abi ‘Aashim no. 27.
- Al-Hawadits wal Bida’, Abu Syamah hal. 22. Hadits diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Al-Madkhal.
- Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah I/109.
- HR Bukhari 6/615-616 dan 13/35 beserta Fathul Baari. Muslim 12/235-236 beserta Syarh Nawawi. Baghowi dalam Syarhus Sunnah 14/14. Dan Ibnu Majah 2979.
- Al-Imam Al-Muhadits Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Adh-Dhai’fah jilid 2 no. 589 mendha’ifkan hadits ini sebab Ibn Lahi’ah.Berkata Imam Tirmidzi dalam Sunan (1/16) no. 10, setelah meriwayatkan salah satu hadits Ibn Lahi’ah : “…dan Ibn Lahi’ah ini dha’if disisi ahli hadits”.Imam Ad-Daruquthni dalam Sunan pada no. 250 setelah meriwayatkan hadits Ibn Lahi’ah berkata: “Ibn Lahi’ah tidak boleh berhujah dengan haditsnya”.Pada no. 251, beliau berkata: “Menyendiri dengan riwayat ini Ibn Lahi’ah dan dia ini haditsnya dha’if”.Oleh sebab itu Imam Ad-Daruquthni memasukan Ibn Lahi’ah dalam jajaran perawi dha’if sebagaimana dalam kitabnya Adh-Dhu’afa no. 322.adz-Dzahabi dalam Al-Mizan Juz 3 no. 4530 berkata:Abdullah ibn Lahi’ah ibn Uqbah Al-Khadrimi, Abu Abdurrahman, Qadhi Mesir dan ulamanya … berkata Ibn Mu’in: “Dha’if tidak boleh berhujah dengannya”.An-Nawawi, Tahdzib Al-Asma wal Lughoh (1/392) no. 328 berkata,Dan berkata Ibn Mu’in : “Ibn Lahi’ah dha’iful hadits”. Dan berkata Amru ibn Ali Al-Falas: Kitab Ibn Lahi’ah terbakar, dan barangsiapa menulis darinya sebelum demikian itu, seperti Ibn Mubarak dan Al-Muqri maka shahih, dan barangsiapa setelah itu (maka dha’if).Dan berkata Ibn Mu’in, “Dia dha’if baik sebelum kitabnya terbakar atau setelahnya. Dan telah mendha’ifkannya Laits ibn Sa’ad, Yahya ibn Sa’id, Bukhari, Nasai, Ibn Sa’ad dan selainnya. Berkata Baihaqi, “Ijma (kesepakatan) ahli hadits atas kedha’ifan Ibn Lahi’ah, dan (mereka) meninggalkan berhujah dengannya dengan apa-apa yang ia menyendiri dengan riwayatnya (tidak ada saksi)”.
- Dari jalan Abu Said Al-Khudrii radhiyallahu’anhu, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (3/36) no. 2608, Abu Ya’la (2/319) no. 1054, Baihaqi (5/257) no. 10131, Abu Awanah (4/514) no. 7538, Thabrani dalam Al-Ausath (7/99) no. 8093 dan lain-lain. Diatas adalah lafazhnya.Dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dikeluarkan oleh Abu Dawud (3/36) no. 2609, Baihaqi (5/257) no. 10129 dan lain-lain.
- Diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi di dalam Sunannya (I/79) no. 251 dan Ibn Abdil Barr dalam Jamiul Bayan al-Ilmu no. 244.
- Muqadimah Syaikh Mashur Hasan Salman, atas Nasihah Zahabiyah ila Al-Jama’at Al-Islamiyah Fatawa Fi Attaah wal Bai’ah Syaikhul Islam Ibn Taimiyah.sumber:http://luruskan354.blogspot.com